Saturday, May 9, 2015

Reconquista, Simbol Marjinalisasi Muslim di Spanyol



Sejak runtuhnya Emirat Granada pada 1492, pengaruh Islam di daratan Hispania praktis lenyap. Bahkan sampai hari ini. Oleh kalangan sejarawan Barat, akhir dari kekuasaan Islam di Spanyol itu dikenal dengan istilah Reconquista, yaitu penaklukan kembali Semenanjung Iberia oleh kaum Nasrani.

Lebih jauh lagi, Reconquista tidak sekadar diartikan sebagai direbutnya kembali tanah Hispania dari tangan kaum Muslimin oleh kelompok Kristen. Melainkan juga dimaknai sebagai upaya Barat untuk menghapus segala bentuk pengaruh Islam di bidang politik, sosial, keagamaan, dan kultur masyarakat Semenanjung Iberia.

Reconquista tidak hanya sebatas perang dan penaklukan, tetapi juga repopulasi besar-besaran umat Nasrani di Semenanjung Iberia. Raja-raja Kristen di Eropa mengambil orang-orang mereka sendiri untuk ditempatkan di berbagai lokasi di Iberia sepanjang abad ke-9 hingga ke-10.

Tujuan kebijakan itu, di samping mengubah wajah demografi Andalusia yang sebelumnya telah ‘di-Islam-kan’ oleh para penguasa Muslim, tentu saja juga untuk membentuk pertahanan sipil kerajaan-kerajaan Kristen di kawasan tersebut.

Selama era pemerintahan Islam, umat Kristen dan Yahudi diizinkan untuk tetap mempertahankan agamanya masing-masing. Namun dengan catatan, mereka mesti membayar pajak (jizyah). Jika mereka tidak bersedia membayar pajak, maka hukumannya adalah dipenjara.

Sementara, setelah Kerajaan Kristen berkuasa kembali di Hispania, mereka menuntut pajak yang sangat besar kepada orang-orang non-Kristiani. Pada 30 Juli 1492, sekitar 200 ribu umat Yahudi diusir secara paksa dari Spanyol oleh Raja Ferdinand II Aragon.

Tahun berikutnya,  Uskup Agung Hernando de Talavera memaksa penduduk Muslim Granada untuk memeluk agama Katolik.

Jika mereka tidak mau berpindah keyakinan, maka mereka juga akan diusir dari Spanyol. Selanjutnya,  pada 1502, Ratu Isabella I menyatakan bahwa seluruh umat non-Kristiani yang berada di wilayah Kerajaan Kastilia wajib mengganti agamanya menjadi Katolik.

“Kebijakan serupa juga diterapkan oleh Raja Charles V terhadap umat Islam yang bermukim di wilayah Kerajaan Aragon tahun 1526,” ungkap Ignacio Tofino-Quesada dalam karyanya, Censorship and Book Production in Spain During the Age of the Incunabula.

Sejak Reconquista, hari-hari besar Islam seperti Idul Adha dan Idul Fitri, tidak lagi masuk dalam daftar hari libur nasional di Spanyol. Sebaliknya, sampai hari ini, ada perayaan tahunan yang digelar setiap tanggal 2 Januari di Granada.

Perayaan itu disebut Dia de la Toma yang menandai peristiwa jatuhnya Kota Granada dari umat Islam ke tangan Kristen pada 2 Januari 1492.

Perayaan Dia de la Toma tentu saja melukai hati kaum Muslimin Spanyol, khususnya di Granada. Pasalnya, perayaan tersebut seolah-olah menyiratkan Islam sebagai ‘makhluk’ yang tidak boleh lagi muncul di daratan Hispania, bahkan dalam bentuk apa pun.

“Dewan Islam Granada berusaha melobi otoritas kota setempat untuk menghentikan perayaan Dia de la Toma. Namun, hingga saat ini permintaan tersebut belum lagi dikabulkan,” ungkap Craig S Smith dalam artikelnya, Granada Journal; Where the Moors Held Sway, Allah Is Praised Again.

Namun demikian, ada sedikit perubahan peta politik di kawasan paling selatan Spanyol. Sejak 2010, pemerintah otonomi Ceuta dan Melilla (dua kota Spanyol yang terletak di kawasan utara Afrika) akhirnya menetapkan Hari Raya Idul Adha sebagai hari libur resmi di kota itu.

Sejak runtuhnya pemerintahan Islam di Granada pada 1492, itu merupakan pertama kalinya hari besar keagamaan di luar Kristen boleh dirayakan di Spanyol.Menurut catatan Andalusian Observatory, jumlah Muslim yang tinggal di Spanyol mencapai 1,6 juta jiwa, atau 3,4 persen dari total 47 juta penduduk negara itu.

Sekitar 1,1 juta Muslim di sana berasal dari kaum Imigran, sedangkan sisanya yang sebanyak 465 ribu jiwa lagi adalah warga asli Spanyol.Presiden Komunitas Muslim Masjid Granada, Malik Ruiz menuturkan, Islam kini kembali menunjukkan perkembangannya di Spanyol.

Gejala tersebut di antaranya ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah mualaf di kalangan warga asli Hispania dari waktu ke waktu. Masjid Granada yang dibangun sejak 1983 menjadi saksinya.

“Setiap selesai shalat Jumat, ada satu atau dua orang Eropa yang mengucapkan kalimat syahadat di masjid tersebut. Tiap pekan paling tidak satu orang Eropa menjadi Muslim,” tutur Ruiz.

Menurut Ruiz, selama ini kaum Muslimin Eropa seakan-akan berada dalam posisi yang lemah, menyedihkan, dan tidak berdaya. Padahal, kata dia, saat ini sedang berkembang komunitas Muslim asli Eropa. Baginya, fenomena tersebut bisa dikatakan sebagai tanda-tanda kebangkitan Islam di Benua Biru.

“Selama ini, fokus kebanyakan Muslim adalah pada Palestina, Asia, dan Myanmar. Muslim di Eropa juga minoritas yang harus mendapat perhatian serupa. Keberadaan Masjid Granada juga bisa menjadi wisata religi alternatif dari Mesir atau Arab Saudi. Letak masjid ini bersebelahan dengan al-Hambra,” ujarnya.


No comments:

Post a Comment