Sejak runtuhnya Emirat Granada
pada 1492, pengaruh Islam di daratan Hispania praktis lenyap. Bahkan sampai
hari ini. Oleh kalangan sejarawan Barat, akhir dari kekuasaan Islam di Spanyol
itu dikenal dengan istilah Reconquista, yaitu penaklukan kembali Semenanjung
Iberia oleh kaum Nasrani.
Lebih
jauh lagi, Reconquista tidak sekadar diartikan sebagai direbutnya kembali tanah
Hispania dari tangan kaum Muslimin oleh kelompok Kristen. Melainkan juga
dimaknai sebagai upaya Barat untuk menghapus segala bentuk pengaruh Islam di
bidang politik, sosial, keagamaan, dan kultur masyarakat Semenanjung Iberia.
Reconquista
tidak hanya sebatas perang dan penaklukan, tetapi juga repopulasi besar-besaran
umat Nasrani di Semenanjung Iberia. Raja-raja Kristen di Eropa mengambil
orang-orang mereka sendiri untuk ditempatkan di berbagai lokasi di Iberia
sepanjang abad ke-9 hingga ke-10.
Tujuan
kebijakan itu, di samping mengubah wajah demografi Andalusia yang sebelumnya
telah ‘di-Islam-kan’ oleh para penguasa Muslim, tentu saja juga untuk membentuk
pertahanan sipil kerajaan-kerajaan Kristen di kawasan tersebut.
Selama
era pemerintahan Islam, umat Kristen dan Yahudi diizinkan untuk tetap
mempertahankan agamanya masing-masing. Namun dengan catatan, mereka mesti
membayar pajak (jizyah). Jika mereka tidak bersedia membayar pajak, maka
hukumannya adalah dipenjara.
Sementara,
setelah Kerajaan Kristen berkuasa kembali di Hispania, mereka menuntut pajak
yang sangat besar kepada orang-orang non-Kristiani. Pada 30 Juli 1492, sekitar
200 ribu umat Yahudi diusir secara paksa dari Spanyol oleh Raja Ferdinand II
Aragon.
Tahun
berikutnya, Uskup Agung Hernando de Talavera memaksa penduduk Muslim
Granada untuk memeluk agama Katolik.
Jika
mereka tidak mau berpindah keyakinan, maka mereka juga akan diusir dari
Spanyol. Selanjutnya, pada 1502, Ratu Isabella I menyatakan bahwa seluruh
umat non-Kristiani yang berada di wilayah Kerajaan Kastilia wajib mengganti
agamanya menjadi Katolik.
“Kebijakan serupa juga diterapkan oleh Raja Charles V terhadap
umat Islam yang bermukim di wilayah Kerajaan Aragon tahun 1526,” ungkap Ignacio
Tofino-Quesada dalam karyanya, Censorship and Book Production in
Spain During the Age of the Incunabula.
Sejak Reconquista, hari-hari
besar Islam seperti Idul Adha dan Idul Fitri, tidak lagi masuk dalam daftar
hari libur nasional di Spanyol. Sebaliknya, sampai hari ini, ada perayaan
tahunan yang digelar setiap tanggal 2 Januari di Granada.
Perayaan
itu disebut Dia de la Toma yang menandai peristiwa jatuhnya Kota Granada dari
umat Islam ke tangan Kristen pada 2 Januari 1492.
Perayaan
Dia de la Toma tentu saja melukai hati kaum Muslimin Spanyol, khususnya di
Granada. Pasalnya, perayaan tersebut seolah-olah menyiratkan Islam sebagai
‘makhluk’ yang tidak boleh lagi muncul di daratan Hispania, bahkan dalam bentuk
apa pun.
“Dewan Islam Granada berusaha melobi otoritas kota setempat untuk
menghentikan perayaan Dia de la Toma. Namun, hingga saat ini permintaan
tersebut belum lagi dikabulkan,” ungkap Craig S Smith dalam artikelnya, Granada Journal; Where the Moors Held Sway, Allah Is
Praised Again.
Namun
demikian, ada sedikit perubahan peta politik di kawasan paling selatan Spanyol.
Sejak 2010, pemerintah otonomi Ceuta dan Melilla (dua kota Spanyol yang
terletak di kawasan utara Afrika) akhirnya menetapkan Hari Raya Idul Adha
sebagai hari libur resmi di kota itu.
Sejak
runtuhnya pemerintahan Islam di Granada pada 1492, itu merupakan pertama
kalinya hari besar keagamaan di luar Kristen boleh dirayakan di Spanyol.Menurut
catatan Andalusian Observatory, jumlah Muslim yang tinggal di Spanyol mencapai
1,6 juta jiwa, atau 3,4 persen dari total 47 juta penduduk negara itu.
Sekitar
1,1 juta Muslim di sana berasal dari kaum Imigran, sedangkan sisanya yang
sebanyak 465 ribu jiwa lagi adalah warga asli Spanyol.Presiden Komunitas Muslim
Masjid Granada, Malik Ruiz menuturkan, Islam kini kembali menunjukkan
perkembangannya di Spanyol.
Gejala tersebut
di antaranya ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah mualaf di kalangan warga asli
Hispania dari waktu ke waktu. Masjid Granada yang dibangun sejak 1983 menjadi
saksinya.
“Setiap
selesai shalat Jumat, ada satu atau dua orang Eropa yang mengucapkan kalimat
syahadat di masjid tersebut. Tiap pekan paling tidak satu orang Eropa menjadi
Muslim,” tutur Ruiz.
Menurut
Ruiz, selama ini kaum Muslimin Eropa seakan-akan berada dalam posisi yang
lemah, menyedihkan, dan tidak berdaya. Padahal, kata dia, saat ini sedang
berkembang komunitas Muslim asli Eropa. Baginya, fenomena tersebut bisa
dikatakan sebagai tanda-tanda kebangkitan Islam di Benua Biru.
“Selama ini, fokus kebanyakan Muslim adalah pada Palestina, Asia,
dan Myanmar. Muslim di Eropa juga minoritas yang harus mendapat perhatian
serupa. Keberadaan Masjid Granada juga bisa menjadi wisata religi alternatif
dari Mesir atau Arab Saudi. Letak masjid ini bersebelahan dengan al-Hambra,”
ujarnya.
No comments:
Post a Comment