Tuesday, May 5, 2015

Muslim Thailand Menuju Jalan Kebebasan




Selama ini banyak yang menilai bahwa Thailand adalah negara yang homogen dengan mayoritas penduduknya menganut agama Buddha sebagai agama resmi. Namun, ternyata Thailand ternyata menjadi tempat bermukim sekitar 64 juta penduduk yang memeluk agama Islam. 


Penduduk Negeri Gajah Putih ini juga banyak yang memeluk agama Islam, Kristen, Konghucu, Hindu, Yahudi, Singh, dan Thao. 



Muslim di Thailand tercatat sebagai kelompok minoritas kedua setelah etnis China. Diperkirakan, pemeluk agama Islam di Thailand ini berasal dari etnis Persia, Cham (muslim Kamboja), Bengali, India, Pakistan, serta etnis Melayu dari Sumatera, Kalimantan dan Malaysia.



Berbeda dengan umat Muslim di Thailand yang menyebar ke banyak tempat, tidak demikian dengan Muslim dari etnis Melayu yang ada disana. 



Onislam.net mencatat, Muslim Melayu cenderung mengelompok dan bermukim di provinsi-provinsi bagian selatan Thailand. Yaitu di Provinsi Pattani, Yala, Naratiwat, Songkhla, dan Provinsi Satun  yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. 



Hal ini disebabkan karena muslim Melayu cenderung kesulitan untuk berintegrasi dengan budaya Thailand yang mayoritas berafiliasi dengan pemeluk agama Buddha. Terdapat Kesultanan Muslim yang menaungi masyarakat Muslim Melayu di Thailand. 



Kesultanan Muslim ini dinilai pemerintah Thailand sebagai kelompok separatis. Tak jarang, terjadi bentrok dan kekerasan antara pihak Kesultanan Muslim dengan pemerintah Thailand pada abad ke-18 silam. 



Pemerintahan Thailand yang dikuasai oleh Raja Thailand saat itu berupaya untuk menyatukan umat Muslim Melayu agar sama-sama masuk di bawah naungan Kerajaan Thailand. 



Namun, tetap saja mereka menolak karena masyarakat Muslim Melayu saat itu bersikeras untuk diintegrasikan dengan negara Melayu dan memerintah sendiri.

Dalam beberapa dekade, upaya penyatuan kaum Muslim Melayu dengan budaya dominan Thailand terus diupayakan oleh pemerintah. Namun, upaya besar-besaran dilakukan pada tahun 1940 saat pemerintahan Thailand dikuasai oleh partai nasionalis pimpinan Pibul Songkhram. 


Pihak partai nasionalis memaksa orang Melayu untuk menanggalkan identitas mereka sebagai Melayu dan Muslim agar bersatu di bawah pemerintahan Thailand. 



Tidak hanya itu, Muslim Melayu juga dicegah untuk mengenakan pakaian tradisional melayu denga  penutup kepada yang khas atau kerudung. Bahkan mereka juga dilarang untuk berbicara dengan logat Melayu. 



Agar tidak membuat perbedaan mencolok seperti sebelumnya, pemerintah juga meminta mayarakat Muslim Melayu untuk  mengadopsi nama Thai. Akses mereka untuk belajar agama Islam pun juga ditutup oleh pemerintah dan memaksa mereka untuk masuk agama Buddha.



Pemerintah juga menghapuskan pengadilan Islam untuk menangani urusan keluarga Muslim. Seluruh mahasiswa Muslim di Thailand juga diharuskan memberikan penghormatan kepada gambar Buddha di sekolah-sekolah umum.



Bila ada yang menolak untuk mematuhi kebijakan ini maka akan ditangkap dan diberi hukuman. Bahkan tak jarang berujung kepada penyiksaan. Kondisi ini tentu semakin memperburuk hubungan pemerintahan dengan kelompok Melayu Muslim yang berdomisili di wilayah selatan. 



Meskipun kemudian pemerintah melunak dengan mencabut segala aturan yang menyulitkan umat Islam di Thailand, akan tetapi sejarawan Asia Tenggara asal Singapura Michael Vatikiotis menilai bahwa ada jarak yang jauh antara pemerintah dengan kaum Muslim Melayu Thailand. 



Onislam.net menulis, saat dipimpin oleh PM Thaksin Sinawatra pun, upaya berdamai dengan Muslim Melayu pun urung terlaksana. Thaksin mencoba untuk memfasilitas pelajar dari selatan dalam bentuk beasiswa pendidikan.



Namun, Muslim Melayu bersikap untuk tidak menerima niatan dari Thaksin. Sebab, mereka menilai Thaksin hanya mencoba melakukan investasi agar kelak keturunan mereka memiliki hutang budi kepada pemerintahan. 



Di tengah upaya yang dilakukan oleh PM Thaksin, warga Bangkok justru semakin cenderung melihat stigma negatif kepada penduduk selatan. Mereka melabeli kelompok selatan sebagai pelaku krimimal yang berlindung di balik agama. 



Dengan propaganda itulah, pemerintah yang dikendalikan dari Bangkok berulang kali melakukan operasi militer untuk menopang upaya pemerintah.



Karena pemerintahan didominasi oleh etnis Thai dan agama Buddha, semakin kurangnya upaya integrasi melalui diplomasi untuk menempuh jalur perdamaian dengan kaum Muslim Melayu. 



Sementara kalangan Muslim Melayu juga semakin gencar menuntut agar pemerintahan Thailand untuk mengakui otonomi Muslim Melayu agar mereka dapat memerintah dan membuat kebijakan yang mengatur kehidupan mereka sendiri. 



Muslim Melayu meyakini dengan diberlakukannya otonomi khusus terhadap mereka, kaum Muslim Melayu diyakini dapat mengembangkan taraf hidup mereka karena selama ini mereka merasa tidak memperoleh pengayoman yang sama dengan penduduk dan penganut agama mayoritas di Thailand.



Mereka pun selalu menyuarakan agar pemerintah tidak melulu melakukan gertakan melalui aksi milter. Menurut mereka, dalam kondisi yang heterogen ini, pemerintah sebagai pihak yang menaungi semua warga yang berdomisili di Thailand harus mendambakan budaya saling menghormati dengan apa yang dianut dan duipercayai orang lain.





Meski berkali-kali diupayakan berdamai, namun konflik ini tetap saja terjadi di Thailand. Dengan berbagai macam hal sebagai pemicu, kejadian persinggungan antara pemerintah dengan Muslim Melayu di Thailand masih saja muncul ke permukaan.

Setelah konflik berkepanjangan yang sudah mengakar ratusan tahun, membuat sejumlah kalangan pemuda terpelajar dan mahasiswa Islam Thailand gusar dan mendesak kedua belah pihak untuk segera menyelesaikan persoalan.


Hal itu dilakukan agar perbedaan agama dan budaya tidak lagi menjadi persoalan di Thailand. Para mahasiswa aktif menggelar pertemuan untuk membahas ide-ide mereka dalam rangka merentangkan tali perdamaian antara pihak pemerintah dengan kaum Muslim Melayu yang berada di  selatan. 



Reuters mewawancarai seorang mahasiswa Muslim Thailand yang menjelaskan bahwa mereka kerap melakukan pertemuan di sebuah universitas yang ada di wilayah selatan, yaitu di Provinsi Pattani.



Pertemuan ini kerap digelar usai pemerintah menandatangani kesepakatan dengan kelompok Barisan Revolusi Nasional (BRN) pada Februari 2013 lalu. Mahasiswa menyadari adanya celah damai yang dapat diupayakan bila semua pihak mau melakukan dialog dengan intensif dan mau menghargai perbedaan satu sama lain. 



Mereka sadar bahwa cara untuk meredam konflik adalah dengan mengintegrasikan dua keinginan yang berbeda dari pemerintah dan kelompok Muslim Melayu. 



Ide-ide mahasiswa ini pun diamini oleh Wali Kota Yala Pongsak Yingcharoen. Pongsak yang berbicara atas nama warganya mengatakan, bahwa rakyat Thailand sangat tidak menyukai konflik yang berujung kepada aksi kekerasan.



“Warga lokal berharap kekerasan tak terjadi selama proses pembicaraan berlangsung. mereka berusaha warga memahami supaya proses perdamaian ini segera terwujud,” kata Pongsak.



Para pengamat mengatakan, adanya indikasi pemerintahan Thailand yang menyimpan niatan untuk mengakhiri ketegangan dengan Muslim Melayu di selatan.

Meskipun selama ini menilai tabu untuk mengakui wilayah selatan sebagai daerah yang memiliki otonomi khusus, namun akhir-akhir ini mereka sudah mulai memikirkan ke arah sana. Pemerintah menyadari upaya paksa yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun terbukti tidak membuahkan hasil yang sama-sama menguntungkan keduabelah pihak.


 “Kata otonomi menjadi kata yang tabu buat pemerintah, tapi sekarang mereka mau mendiskusikannya secara terbuka,” kata pengamat dari Asia Foundation Thomas Park. 



No comments:

Post a Comment