http://www.hasanahqaromah.com/category/ziarah-spektakuler-mesir-uae/
Kehidupan alam fana dan alam baka, berbatas
tabir begitu tipis. Begitulah gambaran menyusuri El ’Arafa atau Cairo
Necropolis di bagian timur Kota Kairo. Bisa disebut, ini tujuan wisata
alternatif selain berpelesir naik felucca (perahu) di Sungai Nil atau
menengok Piramida Giza serta Sphinx di kota yang sama.
El ‘Arafa atau Qarafa, yang dalam bahasa Inggris disebut City of the Dead adalah kompleks permakaman raksasa, dengan panjang poros utara-selatan mencapai sekitar 6,4 kilometer. Ia memiliki dua wajah, yaitu sebagai tempat peristirahatan terakhir, sekaligus permukiman penduduk.
Setelah melewati semacam gerbang, Anda bisa menemui kehidupan keseharian warga setempat. Seperti penjual roti pita–roti tradisional berbentuk bulat yang dimatangkan menggunakan tungku—menjajakan dagangan, pedagang jeruk dengan gerobak, serta anak-anak lelaki bermain bola.
Makin ke tengah, tampil sosok permukiman yang cukup kumuh, dengan bangunan berwarna dominan cokelat bata. Tampak jemuran melambai-lambai di atas lorong, berdampingan dengan pintu-pintu masuk menuju beberapa masjid.
Kejutan yang didapati: begitu kaki menapak masuk ke tempat peribadatan ini, arsitektur Kesultanan Mamluk dengan ornamen nan kaya bakal memesona Anda. Syahdu sekaligus romantis. Kami pun dibuat lupa sejenak oleh suasana sekeliling City of the Dead yang centang perentang saat berada di dalam masjid.
Kawasan berpenghuni ribuan batu nisan umum serta bangunan-bangunan mausoleum untuk pekuburan keluarga. Satu dan lainnya terhubung oleh lorong-lorong bak labirin. Dan tentu saja: tanpa dilengkapi papan penunjuk.
Sembari menyusuri blok-blok permakaman, Anda dapat
memilih: ingin singgah dan mengabadikan diri di kompleks permakaman eksklusif
atau sederhana. Mulai rumah kecil terbuat dari pualam sampai nisan-nisan dicat
warna hijau nan pudar bisa ditemukan di sini. El ‘Arafa atau Qarafa, yang dalam bahasa Inggris disebut City of the Dead adalah kompleks permakaman raksasa, dengan panjang poros utara-selatan mencapai sekitar 6,4 kilometer. Ia memiliki dua wajah, yaitu sebagai tempat peristirahatan terakhir, sekaligus permukiman penduduk.
Setelah melewati semacam gerbang, Anda bisa menemui kehidupan keseharian warga setempat. Seperti penjual roti pita–roti tradisional berbentuk bulat yang dimatangkan menggunakan tungku—menjajakan dagangan, pedagang jeruk dengan gerobak, serta anak-anak lelaki bermain bola.
Makin ke tengah, tampil sosok permukiman yang cukup kumuh, dengan bangunan berwarna dominan cokelat bata. Tampak jemuran melambai-lambai di atas lorong, berdampingan dengan pintu-pintu masuk menuju beberapa masjid.
Kejutan yang didapati: begitu kaki menapak masuk ke tempat peribadatan ini, arsitektur Kesultanan Mamluk dengan ornamen nan kaya bakal memesona Anda. Syahdu sekaligus romantis. Kami pun dibuat lupa sejenak oleh suasana sekeliling City of the Dead yang centang perentang saat berada di dalam masjid.
Kawasan berpenghuni ribuan batu nisan umum serta bangunan-bangunan mausoleum untuk pekuburan keluarga. Satu dan lainnya terhubung oleh lorong-lorong bak labirin. Dan tentu saja: tanpa dilengkapi papan penunjuk.
Banyak alasan mengapa orang-orang bisa bertahan tinggal di antara makam ,Pertama karena alasan sentimental, ingin selalu berada di dekat orang yang meninggal, karena begitu dalam cintanya. Ada juga yang tinggal di dekat mausoleum keluarganya agar bisa merawat bangunan itu. Dan yang paling menyedihkan, ada yang tinggal di sini karena faktor ekonomi. Mereka-mereka ini tidak punya uang untuk mengontrak rumah tinggal.
No comments:
Post a Comment