Nama Shalahuddin al Ayyubi (w. 1193) sudah
sangat dikenal luas di dunia Islam. Ia seorang pahlawan Muslim yang dikagumi
orang-orang di Timur dan Barat. Baha’uddin Ibn Shaddad, seorang ulama,
sejarawan, sekaligus sahabat Shalahuddin, menjadi benar-benar yakin tentang
kisah-kisah generasi terdahulu yang begitu hebat dan kadang terasa kurang masuk
akal saat bercermin pada apa yang ia saksikan sendiri dari perjuangan
Shalahuddin dan generasinya.
Ibn
al-Athir, seorang sejarawan sejaman lainnya yang sering mengkritik Sultan
pertama Bani Ayyub itu, mengakui bahwa Shalahuddin “…merupakan pribadi yang
langka pada masanya, dengan banyak kualitas dan amal perbuatan yang baik, hebat
dalam berjihad menghadapi orang-orang kafir, yang penaklukannya telah menjadi
bukti.”
Bahkan
musuhnya, William of Tyre, seorang pendeta dan sejarawan dari kalangan
orang-orang Frank yang hidup pada masa itu, juga mengakui bahwa Shalahuddin
adalah seorang yang “berpikiran tajam, pemberani di medan tempur, dan memiliki
kedermawanan luar biasa”.
Shalahuddin
memiliki nama asli Yusuf. Ia adalah seorang keturunan Kurdi yang lahir di
benteng Tikrit pada tahun 1137 M. Ayahnya, Ayyub bin Syadzi (w. 1173),
merupakan seorangdizdar (pemimpin kastil) Tikrit pada masa itu.
Tapi sebuah peristiwa menyebabkan Ayyub dan seluruh anggota keluarganya
terpaksa meninggalkan kota Tikrit. Yusuf lahir pada hari yang menyedihkanitu,
sehingga ayahnya menganggap hal itu sebagai sebuah pertanda buruk. Namun
seorang pelayan menghiburnya, “Ini merupakan takdir Tuhan. Bagaimana Anda bisa
tahu, mungkin saja suatu hari nanti ia akan menjadi raja yang terkenal atau
seorang tokoh yang hebat di masa depan?” Apa yang dikatakannya kelak
benar-benar menjadi kenyataan.
Sejak
saat itu, Ayyub dan saudaranya Syirkuh (w. 1169) bekerja pada pemerintahan
Imaduddin Zanki (w. 1146) di Mosul dan kemudian di wilayah Suriah. Shalahuddin
Yusuf dan saudara-saudaranya tumbuh dengan pendidikan keislaman dan kenegaraan
yang biasa diterima oleh putra seorang emir. Ia menjalani masa kanak-kanaknya
di kota Ba’albek dan kemudian Damaskus. Pada tahun 1152, saat berusia 14 tahun,
ia dikirim oleh ayahnya ke Aleppo untuk dididik militer oleh pamannya Syirkuh
dan mengawali karir sebagai seorang emir muda pada pemerintahan Nuruddin Mahmud
(w. 1174), putra Imaduddin Zanki.
Nuruddin
menggantikan kedudukan ayahnya yang wafat beberapa tahun sebelumnya sebagai
sultan di Aleppo dan Suriah. Belakangan Shalahuddin menjadi asisten pribadi
Nuruddin yang selalu menemaninya kemana saja Nuruddin pergi.
Keberadaannya
bersama Nuruddin memberi pengaruh yang mendalam pada diri Shalahuddin.
Nuruddin merupakan seorang sultan yang soleh, berilmu, dan adil. Nuruddin-lah
pemimpin pertama di Suriah pada masa itu yang membangun pondasi kesolehan di
tengah masyarakat dan pemerintahannya serta menyebarluaskan visi pembebasan
kembali al-Quds (Yerusalem).
Beberapa
penulis Barat, seperti Carole Hillenbrand dalam buku Perang Salib,cenderung
mengecilkan kesolehan Nuruddin dan lebih menggambarkannya sebagai politik
pencitraan demi mengokohkan legitimasi kekuasaan. Namun beberapa penulis Barat
lainnya, Newby di dalam buku Saladin misalnya, mengapresiasi keadilan dan
kesolehan Nuruddin dan membandingkannya dengan ketiadaan hal yang sama di
kerajaan Frank ketika itu. Newby menulis, “We hear of no Frankish king or prince
say, as Nur al-Din would, ‘I am but the servant of the law.’”
Ucapan
Nuruddin ini bukan hanya pemanis bibir. Buku-buku sejarah mencatat banyak kisah
keadilannya, pemahamannya yang mendalam,serta sikap tunduknya terhadap hukum
Islam. Karakter kepemimpinan Nuruddin ini kelak menjadi model utama dalam
kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi.
Shalahuddin
, dan juga Nuruddin sendiri, pada saat yang sama juga ikut dibentuk oleh arus
kebangkitan kembali Ahlu Sunnah yang telah bermula kurang lebih setengah abad
sebelumnya. Dr. Majid al-Kilani dalam bukunya Misteri Masa Kelam Islam (Hakadza Dzahara Jiil Shalah al-Din)
menunjuk Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) sebagai ulama yang paling bertanggung
jawab terhadap gerakan islah atau gerakan kebangkitan ini, kemudian dilanjutkan
oleh Abdul Qadir al-Jilani (w. 1165) pada generasi berikutnya. Kita mungkin
dapat menambahkan Nizamul Muluk (w. 1092) dari kalangan negarawan sebagai tokoh
yang ikut berperan dalam gerakan islah di era Ghazali.
Gerakan
ini dalam rentang waktu yang panjang mampu memberikan perubahan signifikan di
dunia Islam. Kaum Muslimin dan para ulamanya yang sebelumnya terpecah belah dan
bermusuhan disebabkan perbedaan madzhab fikih serta mengalami kemunduran disebabkan
orientasi duniawi yang terlalu kuat perlahan-lahan berubah dan menjadi
sangatcondong pada persatuan dan kesolehan. Medium terpenting bagi pembentukan
dan penyebaran tata masyarakat baru di dunia Islam ini adalah madrasah – kurang
lebih setara dengan universitas pada masa sekarang ini –yang menjadikan
Madrasah Nizamiyah sebagai model utamanya.
Nuruddin
dan Shalahuddin adalah buah dari gerakan islah dan pada gilirannya menjadi pemimpin
yang menerapkan islah di tengah masyarakatnya.
Madrasah-madrasah penting tumbuh subur di bawah pemerintahan mereka.
Karir
Shalahuddin mulai bersinar terang saat ia mengikuti ekspedisi pamannya,
Syirkuh, sebanyak tiga kali ke Mesir, antara tahun 1163 dan 1169. Mesir,yang
ketika itu dikuasai oleh Dinasti Fatimiyah yang berpaham Syiah
Ismailiyah,tengah mengalami kemunduran drastis dan terancam dikuasai oleh
orang-orang Frank (tentara salib).Dua ekspedisi pertama gagal dan menyebabkan
trauma pada diri Shalahuddin yang ketika itu masih berusia awal 30-an tahun.
Ketika
pamannya yang merupakan pemimpin angkatan bersenjata di kesultanan Nuruddin
mengajaknya untuk menyertainya pada ekspedisi yang ketiga, Shalahuddin menolak.
“Dem i Allah!” katanya, “saya tidak akan ikut berangkat ke Mesir, bahkan
sekiranya saya dijadikan raja di sana.”
Tapi
Syirkuh mendesaknya dan Nuruddin memerintahkannya untuk berangkat, sehingga ia
tak bisa menolak lagi. Apa yang dibencinya itu ternyata akan membawanya pada
kepemimpinan dan kerajaan yang besar.
Mesir
takluk dengan mudah pada ekspedisi yang ketiga di tahun 1169. Shalahuddin
menggantikan pamannya yang meninggal dunia dua bulan kemudian sebagai wazir
Mesir. Selama dua tahun Shalahuddin memperkuat posisinya dan pada tahun 1171 ia
menghapuskan Dinasti Fatimiyah dan menjadikan Mesir sebagai negeri Sunni di
bawah pemerintahan Nuruddin. Tiga tahun kemudian Nuruddin wafat di Damaskus.
Dalam
satu dekade berikutnya Shalahuddin muncul sebagai emir terkuat di wilayah
Mesir, Suriah, dan Mesopotamia. Ia menyatukan sebagian besar wilayah itu dalam
satu pemerintahan dan menjadi pemimpin pertama sebuah dinasti baru, yaitu
Dinasti Ayyubiyah. Ia kemudian menggunakan kekuasaannya ini untuk menghadapi
tentara Salib dan membebaskan al-Quds. Apa yang sebelumnya dibenci oleh
Shalahuddin ketika akan masuk ke Mesir ternyata menjadi kebaikan baginya
dan bagi dunia Islam.
Benarlah
apa yang difirmankan oleh Allah di dalam Surat al-Baqarah ayat 216: “…Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak
Pada tahun 1187, Shalahuddin mengerahkan
pasukannya dalam jumlah besar dan menghadapi pasukan Frank dalam Pertempuran
Hattin. Kaum Muslimin memenangkan pertempuran itu dengan gemilang. Banyak
tentara salib yang mati terbunuh, dan banyak pula yang menjadi tawanan dan
budak sehingga harga budak di pasaran jatuh dan ada Muslim yang menukar budak
Frank yang dimilikinya dengan sepasang sepatu. Raja Yerusalem, Guy of Lusignan,
dan banyak pembesar Frank lainnya menjadi tawanan Muslim. Dalam waktu beberapa
bulan saja, kota al-Quds dan hampir seluruh wilayah Frank di Suriah-Palestina
lainnya jatuh ke tangan Shalahuddin.
Shalahuddin
bukan hanya sukses sebagai seorang penakluk dan pemimpin militer, tetapi ia
juga mampu menampilkan sifat kasih sayang terhadap musuh-musuhnya, sifat yang
ia teladani dari penghulu para Nabi yang rahmatan lil alamin. Ia tidak membalas pembantaian yang
pernah dilakukan oleh tentara salib di al-Quds 88 tahun sebelumnya dan
mengijinkan mereka meninggalkan kota itu dengan membayar tebusan. Hal ini
membuat seorang penulis Barat, Stanley Lane-Poole mengatakan, “Sekiranya
pengambilalihan Yerusalem merupakan satu-satunya fakta yang diketahui tentang
Shalahuddin, maka itu sudah cukup untuk membuktikan dirinya sebagai penakluk
yang paling ksatria dan paling bermurah hati pada zamannya, dan barangkali pada
zaman selainnya.”
Pada lima tahun
berikutnya, Shalahuddin harus menghadapi gelombang Perang Salib III
(1189-1192), yang terbesar dari keseluruhan perang salib dan melibatkan tiga
raja terpenting di Eropa Barat, terutama Richard the Lionheart. Itu menjadi
masa-masa yang paling berat dalam hidup dan perjuangan Shalahuddin. Sultan yang
berhati lembut dan mudah meneteskan air mata itu memimpin langsung peperangan
menghadapi tentara salib. Ia menggilir dan mengirim sebagian tentaranya pulang
pada musim dingin agar mereka beristirahat dan memerintahkan mereka kembali
beberapa bulan kemudian, sementara ia sendiri dan pasukan intinya tidak pernah
meninggalkan medan jihad selama empat tahun berturut-turut.
Walaupun
tentara salib berhasil menguasai kembali beberapa wilayah pantai, tetapi mereka
tak pernah berhasil mencapai al-Quds. Richard dan tentara salib yang bersamanya
pada akhirnya menyetujui kesepakatan damai dan tentara salib pun pulang kembali
ke Eropa tanpa meraih cita-cita mereka untuk merebut al-Quds. Sebagian besar
wilayah Suriah-Palestina juga tetap menjadi wilayah Muslim.
Seolah
ditakdirkan menghabiskan sebagian besar umurnya di medan jihad, Shalahuddin
wafat pada tahun 1193, hanya sekitar enam bulan setelah berakhirnya Perang
Salib III. Kematiannya merupakan sebuah kehilangan yang besar bagi dunia Islam.
Seorang
ulama menulis tentang wafatnya sang Sultan, “Saya belum pernah melihat penguasa
lain yang kematiannya ditangisi orang-orang seperti itu, karena ia dicintai
oleh orang-orang yang baik dan yang jahat, oleh kaum Muslimin sebagaimana juga
oleh orang-orang kafir.” Semoga Allah merahmati beliau dan semoga kita yang
hidup pada hari ini bisa mengambil pelajaran darinya.*/Kuala Lumpur, 12 Rabiul Awwal 1435 (14
Januari 2014)
Penulis
adalah ahli sejarah, penulis buku “Nuruddin
Zanki dan Perang Salib” dan “Shalahuddin
Al Ayyubi dan Perang Salib III”. Tulisan ini sudah pernah
dipublikasikan dalam Bulletin Busyra milik Rabithah Alawiyah
Sumber : Hidayatullah
No comments:
Post a Comment