Upacara pergantian
penjaga Istana Deoksugung, yang terletak di sisi Balai Kota Seoul, siang itu
tetap berlangsung. Puluhan penjaga yang mengenakan kostum tradisional bertukar
posisi dan bergantian menjaga istana.
Upacara ini menarik perhatian wisatawan karena
kostum tradisional yang dikenakan para penjaga tersebut berwarna-warni: kuning,
merah tua, biru, hijau, merah marun, lengkap dengan topi, senjata beraneka
rupa, dan umbul-umbul. Upacara pergantian penjaga istana baru dimulai pada 1996
setelah para sejarawan Korea melakukan riset sejarah.
Upacara tersebut dilangsungkan di gerbang
Daehanmun Istana Deoksugung. Tradisi pergantian penjaga ini merupakan
pengalaman istimewa bagi wisatawan karena seakan dibawa ke masa kejayaan
kerajaan-kerajaan di Korea. Upacara ini bisa dinikmati setiap hari pukul 11.00,
14.00, dan 15.30, kecuali hari Senin.
Meski hujan turun rintik-rintik, wisatawan tetap
bertahan mengikuti upacara sampai selesai. Mereka menanti kesempatan berfoto
bersama dengan para penjaga seusai upacara. Wisatawan pun diperbolehkan
meminjam atau mengenakan kostum tradisional yang disiapkan di depan pintu
gerbang istana untuk dipakai saat berfoto bersama dengan para penjaga.
Menghargai
sejarah
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
sejarah. Korsel benar-benar memperlakukan sejarah dan peninggalan masa lalu
secara istimewa. Museum Nasional Korea yang megah dan modern, berikut penataan
galeri pamer yang sistematis, membawa pengunjung museum kembali pada sejarah
kuno Korea hingga abad pertengahan dan awal era modern.
Di galeri sejarah kuno Korea, saya belajar
tentang kebudayaan asli Korea dan mengikuti perkembangannya sejak masa
purbakala hingga periode penyatuan Kerajaan Silla sampai Kerajaan Balhae.
Sekitar 7.525 artefak dipamerkan dari periode Paleolithicum. Peninggalan
purbakala tersebut dipamerkan dalam 11 ruangan.
Adapun untuk periode abad pertengahan hingga
awal sejarah modern, sekitar 1.800 artefak dipamerkan dari masa Dinasti Goryeo
dan Joseon. Artefak yang dipamerkan sangat beragam, mulai dari senjata,
peralatan memasak dan makan/minum, berbagai patung, kerajinan seni, juga
mahkota emas.
Tujuh ruang pamer digunakan untuk memajang 710
benda terkait Buddha, seperti patung-patung, kaligrafi, lukisan, benda-benda
seni yang terbuat dari logam, juga keramik.
Lemari kaca dengan
sentuhan modern, penataan yang sistematis, mempermudah siapa saja yang hendak
memahami sejarah Korea. Bahkan, anak-anak Korea pun betah berlama-lama di dalam
galeri pamer dalam rombongan-rombongan kecil. Bagaimana proses ekskavasi sebuah
benda purbakala juga difilmkan dan ditayangkan di layar televisi yang disiapkan
di dalam galeri pamer.
Mempertahankan wilayah
Satu hal yang menakjubkan dari Korsel adalah
kegigihan mereka mempertahankan wilayah. Tak sejengkal pun mereka surut langkah
dalam kaitan Dokdo, sekelompok pulau kecil di Semenanjung Korea. Pulau yang
disebut Liancourt Rocks itu telah menjadi sengketa selama bertahun-tahun antara
Korsel dan Jepang. Kedua negara mengklaim bahwa Liancourt Rocks tersebut
merupakan wilayah mereka. Jepang menyebut pulau tersebut sebagai Takeshima.
Kepulauan karang berukuran mungil tersebut
terdiri atas dua pulau besar dengan luas 0,18745 kilometer persegi. Jarak Dokdo
dengan Pulau Ulleungdo yang merupakan wilayah Korsel hanya 87,4 km. Adapun
jarak Dokdo dengan Kepulauan Oki yang berada di Prefektur Shimane Jepang
sekitar 157,5 km. Dokdo memiliki cadangan gas bumi yang belum dieksplorasi.
Agar generasi muda Korsel memahami posisi Dokdo,
Pemerintah Korsel mendirikan Museum Dokdo di Seoul. Segala hal yang dipamerkan
di museum ini merupakan hasil riset mengenai kehidupan dan kondisi alam di Dokdo selama 60 tahun terakhir.
Bahkan, di pintu masuk stasiun televisi terbesar di Korea, Korean Broadcasting
System (KBS), terpampang peta Dokdo.
Riset akademik di
Dokdo dimulai pada 1947, disponsori oleh Joseon Alpine Club. Riset ini terus
berlanjut dengan berbagai macam survei pada 1952 hingga 1978. Pada 1999-2000,
Kementerian Maritim dan Perikanan Korsel melakukan riset terkait ekologi di
Dokdo. Hasil studi atas Dokdo ini dimasukkan ke dalam subyek ilmu pengetahuan
sejarah dan lingkungan alam.
Pengunjung sipil sampai saat ini dilarang masuk
atau mengunjungi Dokdo berdasar Article 33 of the Cultural Heritage
Preservation Act sejak Dokdo ditetapkan sebagai Dokdo Natural Preservation Zone
pada tahun 1982. Meski demikian, pulau kecil lainnya, yakni Dong-do, telah
dibuka untuk pengunjung sipil dengan mengajukan permohonan terlebih dahulu.
Sangat kuat memegang teguh kesatuan wilayah dan
piawai dalam menyajikan fakta-fakta sejarah kepada anak-anak muda penerus
bangsa, itulah yang bisa kita pelajari dari bangsa Korea. Semoga museum-museum
di Indonesia bisa menularkan semangat serupa bagi generasi mudan
No comments:
Post a Comment